Cerita Seorang Narapidana
Kehidupan menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di SAE (Sarana Asimilasi & Edukasi) Lapas Klas IIA Jember
oleh Bahiroh Adilah
bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Garwita Institute, Jember
Catatan Penulis: Dalam photozine kali ini, saya diminta untuk mengindahkan kode etik dengan tidak menampilkan wajah subjek dalam foto. Sebagai fotografer, saya melihat hal tersebut sebagai sebuah tantangan tersendiri, sekaligus merasa diuntungkan. Maksudnya, saya diberi kesempatan untuk mengeksplor sisi lain pengambilan mata kamera dan menangkap emosi tanpa memperlihatkan ekspresi wajah. Hak cipta Photozine sepenuhnya milik Penulis – Bahiroh Adilah dan Garwita Institute. Referensi Research Institute tidak bertanggung jawab terhadap keseluruhan isi dari photozine tersebut.
Lima tahun sudah, Gus, demikian dia biasa dipanggil, mendekam di balik tembok tinggi penjara. Pada 2016, bersamaan dengan ketok palu sang hakim, ia resmi diganjar hukuman 11 tahun penjara. Saat ini, sudah lima tahun berlalu, nyaris separuh waktu hukuman sudah dilalui Gus, dan kini ia dipindahkan ke Sarana Asimilasi dan Edukasi (SAE) Jember .

“Sesekali saya juga ikut melaut untuk bantu-bantu.”, tutur Gus ketika menceritakan masa lalunya, membantu orang tuanya yang seorang nelayan di daerah Pesisir Jember.Ia sendiri adalah seorang pengrajin wadah ikan pindang dari bambu. Selain tinggal bersama orang tuanya, Gus juga tinggal dengan seorang anak perempuannya yang sekarang sedang duduk di kelas 1 SMP.

SAE adalah fasilitas yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Jember. Dengan memanfaatkan lahan terlantar yang tadinya direncanakan sebagai Lapas baru pengganti yang lama, yang berada di tengah kota, SAE dibangun tanpa tembok pembatas yang memisahkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), seperti Gus, dengan masyarakat.


SAE didirikan 1,5 tahun lalu, tepatnya pada awal 2020. Tidak semua WBP bisa dipindahkan ke SAE, hanya beberapa yang memenuhi kualifikasi dan lolos asesmen. Asesmen tersebut didasarkan pada seberapa kecil kemungkinan melarikan diri. Sedangkan kualifikasi dari lapas adalah telah menjalani 1/3 vonis hukuman pidana dan bukan narapidana kasus narkoba.


Kegiatan pemberdayaan di SAE antara lain adalah SAE Car Wash (cuci motor dan mobil), produksi paving, mendirikan dan mengelola masjid, bertani (menanam bibit pohon pisang dan terong, masing-masing 2000 bibit) dan juga ngangon kambing.

Di SAE, Gus dipercaya untuk angon kambing. Setiap pagi, sekitar pukul 9, kambing-kambing tersebut dikeluarkan dari kandangnya. Selain itu, Gus juga bertugas ngarit rumput untuk makanan para kambing di kandang.


“Saya sebenarnya tidak pernah pelihara kambing. Ini pengalaman pertama saya. Di SAE ini saya belajar untuk angon kambing.”

“Saya menggiring mereka ke lapangan. Biar mereka makan dari rumput-rumput liar yang ada. Mereka bisa bebas berlarian”

Sebelum dipindahkan ke SAE, kegiatan Gus di dalam Lapas hanya bersih-bersih. Ini merupakan pertama kalinya Gus ngangon kambing. Awalnya dibina oleh petugas, lalu salah seorang teman WBP—yang dulunya pernah ngangon kambing- ikut mengajarkan cara ngangon kambing ke Gus. Sampai saat ini, Gus sudah menjalankan kegiatan ngangon kambing selama satu bulan.
Di Lapas, satu kamar hanya berukuran 3x3m berisi sampai sekitar 20-30 orang WBP dengan berbagai kasus. Sedangkan di SAE, terdapat 3 kamar dan berisi total 12 orang WBP saja.

“Senang ga senang ya harus tetap senang, dijalani saja”
“Ya jelas lebih enak di SAE, kalau di dalam Lapas setelah kegiatan kan cuma bisa diam di dalam sel, mau tidur juga yang dilihat selalu genteng, dikelilingi tembok sempit, kalo di SAE ada banyak kegiatan, bisa bantu nyuci, bisa di masjid”

“Di sini juga pikiran ga terlalu sumpek dan tidak terlalu tertekan, suasananya beda”
“Ndak mungkin kalau ga sedih. Ya gimana, namanya juga ga bisa ketemu anak, ga bisa apa-apa, kegiatan terbatas, kalo di SAE alhamdulillah mendingan, lebih banyak kegiatan, belajar bikin paving, belajar nyuci, bertani, ngangon kambing”



“Kami di sini sudah seperti sodara sendiri, senasib, tiap hari ketemu, tidur bareng, hahaha”
“Kami senang berkegiatan di SAE juga karena pengen ngasih tau ke masyarakat kalo napi itu ya manusia biasa juga, tidak seburuk bayangan masyarakat, masyarakat selama ini memandang kita seperti sampah yang tidak ada artinya. Kita di SAE bisa bangun masjid hanya dengan 9 orang WBP, bangun tempat cuci mobil motor, bangun rumah camp itu hanya 3 orang WBP” (Salah seorang WBP lain, 23th)


“Mudah-mudahan bisa di sini terus dan keluarnya dari sini. Kalau sudah keluar dan masih gaada biaya, mungkin saya bantu nguli atau bertani, lumayan juga sudah ada bekal dari sini”